Aku ingin belajar elemen api darinya.
Dia memberiku seletup api,
lalu aku disuruhnya berkeliling dunia.
Aku pun pergi dengan seletup api.
Dari ujung dunia yang satu, ke ujung yang lain.
Semakin lama, aku pun terbakar gairah cinta.
Api ini pun membakar diriku.
Berkobar2 menghanguskan diriku hingga ke jantungku.
Jiwaku pun menjadi membara dengan amarah.
Yang akan selalu tampak di nyalang mataku.
Aku pun pergi kepada Banyu.
Aku ingin belajar elemen air darinya.
Suatu air yang bisa memuaskan segenap dahaga jiwa-jiwa yang kekeringan.
Kuingin memadamkan api yg kubawa ini.
Katanya untuk menguasai elemen air ini,
kuharus berakit-rakit ke hulu,
dan berenang-renang ke tepian.
Kuikuti kata-katanya.
Namun aku pun terhanyut hingga ke samudera asmara.
Aku pun nyaris mati tenggelam.
Setelah berhasil menambatkan diriku di pulau jiwaku,
Aku bertemu Bayu.
Aku ingin belajar elemen angin darinya.
Aku ingin bisa mengalun seperti dirinya.
Membuat pepohonan dan rerumputan menari seiring tarian jiwa.
Ia pun menghembuskan anginnya.
Aku pun tertiup bersama angin ini.
Menari dari taman jiwa yang satu ke yang lain.
Namun aku tak bisa berhenti mengalun.
Aku tidak bisa tinggal di rumah jiwa orang yang kucintai.
Mereka tak mampu melihatku, aku hanyalah angin.
Aku pun bertemu Bumi.
Aku ingin belajar elemen tanah darinya.
Namun ia hanya diam.
Kudekati dirinya dan kubiarkan ia memelukku dengan cinta.
Aku pun menemukan keabadian dalam pelukan tanah.
Akhirnya semua elemen telah kukuasai.
Api, air, angin dan tanah.
Nürnberg, 19 Oktober 2012
iscab.saptocondro